Cahaya
gemerlap diluar sana menyapaku malam
ini. Seakan memaksaku untuk keluar kamar dan mendongak menatapnya nun jauh
disana.Titik – titik terang disana juga seolah membuatku ingin menggapainya.
Menggapainya.
Apakah mungkin
kubisa menggapainya? Sedangkan titik terang yang kusebut ‘Bintang’ itu
sangatlah jauh dan hanya bisa kulihat dari kejauhan saat malam hari datang.
Ah, pikiranku
kalut. Melayang tanpa arah.
Sejatinya, saat
ini aku sedang teringat akan seseorang, yang mungkin sama halnya dengan bintang
diatas sana. Sulit untuk kugapai.
Sekelebat
memori pikiranku tiba-tiba memutar kejadian 1 tahun yang lalu, tepatnya tanggal
12 Juni 2014.
Saat itu, aku terlambat memasuki ruang
olimpiade PAI ku di salah satu sekolah negeri di Malang. Aku masih kebingungan
mencari tempat dudukku yang entah dimana ,disaat semua peserta sudah mulai
mengerjakan soal dihadapan mereka.
“Disitu tempatmu. ” Kata salah satu peserta yang duduk di barisan yang berhadapan
dengan juri.
Lantas aku
terdiam dan memalingkan wajahku kearah suara itu.Aku sempat terkesima dengan
perasaan yang masih terheran-heran, sebelum akhirnya aku menjawab “Terima
kasih” pada dirinya.Sempat kulihat juga bedge orange di seragamnya yang
menunjukkan bahwa ternyata dia adalah kakak tingkatku di sekolah. Dan aku sama
sekali tidak pernah melihatnya selama 1 tahun ini.
Setelah itu,
aku akhirnya duduk di tempat yang sudah ditunjukkannya tadi, tepat tiga baris
di sebelah kirinya.
‘Bagaimana dia
bisa tahu namaku?’.
Sejenak
kuhapuskan pikrikanku itu seraya mulai berkonsentrasi menjawab 50 soal PAI
dihadapanku.
Sejak saat itu,aku
tak pernah bertemu dia lagi di sekolah.Hingga saat aku naik ke kelas sebelas
jurusan bahasa.Bahkan aku tidak pernah menyangka jika ternyata seseorang itu
adalah kakak tingakat satu jurusan denganku.Ya, saat itu dia berkelas di dua
belas bahasa.Tepat di bawah kelasku.
Aku
mengetahuinya saat siang itu, 3 September 2014, dia dan teman-temannya mengajak
kami, anggota kelas sebelas bahasa dua, untuk bergabung dalam salah satu
buletin berkala berbahasa arab di sekolah.
Setelah memperkenalkan diri, menyampaikan visi misi tujuan
diterbitkannya bulletin itu, dia kembali membuatku terkesima untuk yang kedua
kalinya.
“Bagi kalian
yang ingin daftar, silahkan daftar ke ketua kelas kalian. Disini siapa
ketuanya?”, Tanya salah seorang anggotanya.
Seluruh kelasku
ricuh seketika dan menunjuk ketua kelasku yang saat itu duduk di barisan paling
belakang.
“Nggak. Ke dia
aja itu”.Kata seseorang itu sambil menujuk kearah dimana aku duduk saat itu.
Spontan, aku
langsung membuang pandanganku ke luar jendela. Seketika aku tersenyum kecil
sambil bergumam dalam hati, ‘kenapa harus aku lagi..”
Hahaha.Masa
masa itu membuatku tertawa geli malam ini.Entah mengapa aku mendadak merindukan
masa itu.Masa saat dia masih berseragam, masih bisa kulihat walau hanya
sekelebat. Entah itu di kantin, di kantor, di depan kelas, dan dimana saja yang pastiyna selalu membuat tingkahku
seperti anak kecil.
Selama itu aku
hanya bisa tersenyum saat melihatya.Diam – diam teryata aku mengaguminya.Dia
seolah seperti penyemangatku disini.Perlahan-lahan juga, Allah mulai
menampakkan kelebihan-kelebihannya yang membuatku semakin kagum.
Hanya sebatas
kagum.
Mengapa?
Karena
bagaimanapun, dia adalah bintang yang hanya bisa kulihat dari kejauhan.Tanpa
bisa kugapai.
Angin malam
berhembus lembut mengibar-ngibarkan jilbabku.Aku pun memejamkan mata, menikmati
dinginnya malam yang mulai menusuk dadaku ini.Aku teringat kembali
memori-memori itu.
Kali ini, saat aku dan kedua rekanku diberi
amanah untuk memimpin acara wisuda purnasiswanya.Jujur, ini adalah salah satu
keinginan terpendamku selama beberapa bulan terakhir.Dan aku tak ingin
melewatkan saat – saat itu.
Entah mengapa,
hati kecilku mengatakan bahwa Sabtu itu bukan hanya sekedar perpisahannya
dengan kawan sejawatnya.
Tapi juga
perpisahanku.
Hhh. Aku
mengembuskan nafas dalam-dalam, sedalam aku menghembuskan nafasku sebelum aku
mengucapkan “Assalamu’alaikum” pada awal acara. Sedikit menegangkan bagiku,
walaupun ini merupakan kali kedua .Ada rasa yang berbeda.Sepertinya saat itu 2
perasaan di hatiku sedang bergelut.
Perang batin,
mungkin.
Aku harus
bahagia atau sedih?
Ikut bahagia
karena kesuksesannya menyelesaikan masa putih abu-abunya. Atau, justru bersedih
karena lagi lagi hati kecilku mengataka jika akhir pekan itu akan menjadi
pertemuan terakhirku.
Sudahlah.
Aku segera
mengenyahkan pikiranku dan kufokuskan kembali pada para audienceku yang
semuanya bukan orang-orang sembarangan.
Sampai pada
waktu giliran para wisudawan dari kelas dua belas bahasa dua berbaris di
hadapanku, menunggu untuk maju ke atas panggung.Satu persatu maju hingga saat
wisudawan bernomor urut 16 itu kini berdiri tepat di hadapanku.Aku hanya bisa
diam. Mencoba menetralkan keadaanku saat itu lebih tepatnya.
“Ini dikasih ke
siapa?”
Aku terkejut.
Dia bertanya kepadaku sambil menyodorkan kertas kecil yang bertuliskan :‘DAFDIR (diberikan ke MC saat prosesi).
Aku mendongak.
Dan anehnya, aku tak tau apa yang yang harus kukatakan. Jujur, mulutku kaku.
Sebenarnya kertas itu bukan diberikan pada MC. Namun,
diberikan pada 2 guru yang bertugas di sebelah kanan meja MC ini.
Aku masih
terdiam hingga akhirnya rekan MC ku merebutnya dan memberikan kertas kecil itu
ke salah satu guru.
Ah, memalukan.
Ya Tuhan. Apa
sebenarnya yang terjadi saat itu? Kenapa tiba-tiba aku seperti orang dungu
dihadapannya?
Sejenak
kemudian, ketika namanya disebut untuk menaiki panggung, aku memberanikan diri
untuk mendongakkan wajahku kembali.Ke arahnya.Lelaki berpakaian putih hitam itu
menerima kalungan medali kuning dapi kepala sekolahh.
Bahagia.Bangga.Bersyukur.
Keinginan yang
terpendam selama ini kini telah dikabulkan olehNya.Aku bisa merasakan perasaan
lega di dalam hatiku saat itu.‘Terima kasih, Ya Allah’.
Acarapun
ditutup dengan do’a oleh Murabbi Ruhnya.Setelah itu, aku memberanikan diri
untuk meminta secuil kenangan padanya. Ya, sebenarnya aku tau jika dia tak akan
mau. Namun, sekali lagi aku memintanya dengan tulus.Aku ingin menjadikannya
sebagai kenangan bersama satu penyemangatku mempelajari bahasa firmanNya.Dan saat
itu, aku juga diperkenankan untuk memakai medali kuningnya.
Mungkin, bagi
orang lain ini hal yang biasa. Namun yang kurasakan saat itu bukanlah hal yang
biasa, menurutku.Aku bisa langsung berhadapan dengan bintang yang selama 1
tahun terakhir ini hanya bisa kulihat dari kejauhan.
Aku kembali
tersadar dari lamunan memoriku saat rintik hujan mulai turun. Aku kembali
mangangkat wajahku ke atas sana. Sesaat aku mulai menyadari jika malam ini
mendung.Bintang pun telah sempurna tertutup awan gelap.
Tiba-tiba saja,
perasaanku ikut menjadi kelabu.Aku terngiang kembali.
Seseorang yang resmi menjadi alumni di
tanggal 23 Mei 2015 itu berkata, “Iya, aku mau boyong”.
Ya, ku sudah
menduganya.Akhirnya aku kembalikan medali kuningnya yang setelah sekian lama
berada di kalunganku.
Dia pun mulai
meninggalkan aku yang yang masih terpaku berdiri menatapya pergi.
‘Tidak!Aku
harus bahagia.Bukan saatnya bersedih saat ini.Tolong, jangan’.Pekikku dalam
hati.
Hujan turun
semakin deras.
Aku menguatkan
diriku sendiri agar tidak bersedih malamini.Cukuplah. Aku akan pendam semuanya
sendiri. Aku akan menikmatinya malam ini bersama hujan. Malam ini saja, aku
ingin mengenangnya.
‘Lepaskan,
Afifah!’
Aku mulai
mengerti. Aku bisa belajar dari pertemuan singkatku itu.Ya, aku tak mau menghancurkan
masa putih abu-abuku ini dengan harapan tinggi itu. Aku tak ingin jatuh
lagi.Aku tak ingin rasa kagum ini berubah menjadi lebih.
Tidak. Jangan
dulu.
Saat ini adalah
giliranku yang duduk di penghujung. Aku sadar akan kewajibanku yang lebih berat
dari tahun-tahun sebelumnya.
Aku bersyukur
karena ternyata perpisahan ini memberikanku pelajaran berharga.Perpisahan yang
akhirnya membawa ketenangan dan kedamaian.Perpisahan yang menyadarkanku agar
tak mudah terbawa larut pada perasaan.
Aku ikhlas berpisah
dengan seseorang yang ku kagumi aura ketenangannya.Aku ikhlas berpisah
dengannya demi janjiku pada Sang Maha Agung untuk tidak mengulangi lagi
masa-masa ‘kelamku’ dulu.
Buliran air
tiba-tiba mengalir dari pelupuk mataku.Namun, cepat-cepat aku menghapusnya.Aku
mencoba untuk tersenyum.Kupejamkan mataku sambil menghirup aroma hujan yang
masih deras malam ini.
‘Bintangku,
terima kasih untuk pertemuan singkat ini.Terima kasih telah menjadi wasilah
Allah untuk menyadarkan aku.Bintangku,dimanapun kau berada, tetaplah menjadi
bintang yang aku kenal. Tetaplah menjadi seseorang yang selalu terlihat tenang
menghadapi gelutan dunia.Tetaplah menjadi inspirator bagi sekelilingmu
dimanapun kau berada.
Walaupun
sekarang aku tak bisa melihatmu lagi, aku selalu berdo’a untuk kebaikan
kita.Semoga suatu saat nanti, Allah bisa memberikan kesempatan bagiku untuk
melihatmu lagi.
Selamat
berpisah, bintangku..’
Aku kembali
membuka mataku.Hujan masih turun walau tak sederas tadi. Kutengok jam tanganku
yang tak terasa sudah menunjukkan waktu sudah larut malam. Aku beranjak masuk
ke dalam kamarku.Aku pun merebahkan tubuh seraya menarik selimutku.Sesaat
kemudian, mataku mulai terpejam.Aku terlelap di malam yang dingin beraroma
hujan ini.
Dan aku
bermimpi bertemu lagi dengan bintangku itu… (to be continued)
Komentar
Posting Komentar