Gedung berwarna abu-abu ini masih sama seperti 3
tahun lalu saat aku pertama kali menginjakkan kaki. Udara dingin di pagi hari
selalu menyejukkan. Arjuna yang selalu menampakkan kemegahannya itu terlihat dari lantai 2.
Aku masih disini. Saat ini, aku berada di kelas
akhir jurusan bahasa. Tepatnya XII Bahasa 2. Ya, ini kelas bintangku tahun
lalu.
Benar kata Papa dulu, kalau sudah di SMA itu waktu
rasanya berjalan cepat sekali. Inilah buktinya. Rasanya baru kemarin aku jadi
anak baru yang belum tahu apa-apa, sekarang telah menjadi senior di sekolah
ini.
“Fi!”
Suara akrab itu membuyarkan lamunanku pagi ini.
Namanya Diah. Seorang cewek berkacamata ini kerap
disebut-sebut sebagai prangko, dan aku lemnya. Dia layaknya diaryku. Begitupun
sebaliknya. Kami bersahabat sejak kelas sepuluh dulu. Walaupun aku dan Diah tidak
pernah satu kelas, satu jurusan, maupun satu kamar, tapi itu tak menjadi
penghalang persahabatan kami.
“Kebiasaan banget sih ngangetin orang!”
“Hehe. Peace “. Kata Diah sambil mengacungkan 2
jarinya. “Kamu udah sarapan belum, Fi?”
“Males, Di”. Entah kenapa semenjak aku sembuh
dari thypus beberapa minggu lalu, rasanya aku seperti kehilangan nafsu makan.
“Kamu lagi kenapa sih, Fi? Akhir-akhir ini
kamu kelihatan murung banget?”. Tanya Diah.
“Ngga papa
kok”.Jawabku singkat dengan pandangan yang masih menatap ke arah jendela.
“Bohong!” katanya.“Aku tahu kamu pasti lagi mikirin bintangmu itu, kan?Ngaku deh!”
Aku sudah
menyangka Diah akan tahu. Dan aku hanya bisa diam, lantas kuletakkan kepalaku
di pundak sahabatku itu.
“Udah lah, Fi. Biarkan dia tenang meraih impiannya diluar sana. Kamu
nggak mau kan jadi penghambatnya? Mohon sama Allah buat nguatin hati kamu.”
Deg!
Kata – kata Diah membuat aku terenyuh.Ingin rasanya aku menitikkan air mata yang sudah
menggantung di mataku.Tapi aku menahannya.
“Kamu nggak
mau kan tenggelam lagi kayak dulu?”
Iya Di, nggak
mau banget. Kataku dalam hati.
“Kamu harus
yakin ini semua udah diatur dalam skenarioNya.Nggak mungkin deh kalau berakhir
kecuali kamu bahagia.Percaya deh sama aku, Fi”.
Aku akhirnya
mendongak kearah Diah.Aku pun mengiyakan kata – kata Nadia tadi. Aku harus
kuat!.
“Makasih
banget ya, Di. Kamu emang sahabat yang paling ngerti gimana aku.Kamu selalu
jadi penenangku selama ini”.
“Iya, Fi. Sama
– sama .Jangan sedih lagi, ya.Allah selalu sama kita, kok”.Kata Diah sambil
tersenyum.
Aku mengangguk
mantap.Dan aku berjanji pada diriku sendiri untuk tetap ceria mengahadapi
apapun yang terjadi di hidupku.
Karena, ada
atau tak adanya bintang, hidupku terus berjalan.
(to be continued)
Komentar
Posting Komentar